Selamat pagi Mentari, apakabar dengan langitku?. Sejauh ini
kumemandang layaknya atap yang bisa kugapai. Sadarkah aku dibawah lagit itu,
ada secerca luka yang kian membiru. Bukan halnya sebuah ekspetasi, melainkan
realita yang ada dalam hati. Terima kasih untuk sepotong perban putih, yang kau
beri untuk menutup luka. Hadirmu layaknya teka teki, yang membuatku terjebak
dalam labirin hati. Kini kisah dimulai, dari seberang hati yang kau bagi.
Layaknya kue potong yang dengan senang hati kau kongsi. Kau
putar sana sini tanpa melihat ada tuan yang memiliki. Tolong, luka itu belum
sepenuhnya mengering, hingga seenaknya kau gores dan meninggalkan jejak. Apa
bedanya kau dengan dia?
Adamu karena kuanggap ketiadaan dia, kau beri perban putih
kupersilakan untuk menutup luka. Tapi, apalagi ini?. Adamu malah mengundang
bayanganya. Kuingat untaian katamu, kau pernah bilang bahwa kisah ini seperti
Romeo and Juliet. Tapi, apa? Kau malah pergi layaknya ftv yang ujungnya
membuatku sedih.
Lagu lama kau putar, dipelataran rumah yang elok taman. Kita sempat membicarakan soal mimpi, dengan
gayamu kau mengatakan bahwa mimpiku harus seperti mimpimu. Sebenarnya, apa yang
kau inginkan?. Tanda tanya segudang kau berikan dalam benak ini.
Jika harapanmu seperti negeri dongeng, layaknya aku seorang
Juliet, apakah kau siap untuk memperjuangkan cinta ini? Hingga kematian yang
jadi pemisah.
Sudahlah, aku Lelah mendengarkan negeri dongengmu, yang penuh
halu dan tak ada titik temu. Aku tidak butuh imajinasimu, melainkan tindak
langsung perjuanganmu.
Ingatlah dibawah Mentari, bahwa kau pernah memberi sepotong
perban putih untukku. Kau tutup luka ini layaknya kaulah yang jadi penawar luka
ini. Tapi sekali lagi, adamu mengundang
bayangan dia. Dia kini sudah kuanggap tiada. namun, luka yang ada tak terobati meski hanya secerca
tetesan tinta hitam. Sebegitu teganya, hingga luka itu tak kunjung pulih.
Kini kutega membiarkanmu dengan negeri dongengmu yang penuh
halusinasi itu, aku akan membawa selembar kertas putih dan secawan tinta. Aku
akan menuliskan tentang mimpiku yang pernah kukatakan padamu, dan begitu juga
mimpimu yang pernah kau perlihatkan padaku.
Saat Mentari hadir, kan kutemui dirimu dengan kertas itu, agar
kau lihat siapa yang akan menang dalam perjuangan ini. Kau pernah katakan padaku
:”siapakah yang akan bertahan dititik perjuangan ini.” Lantas,
kulangsung memotong perkataanmu :”bahwa akulah yang pasti menang”. Kau terdiam
dan dengan angkuhmu, dalam batin menertawakanku.
Lucuhkah itu, dan sebodoh itukah aku?, yang dengan mudahnya
tertipu dengan mulut madumu itu. Biarlah, luka ini sembuh dengan sendirinya.
Kutak perlu lagi perban putih darimu, yang kian hari malah membuatku terngiang banyangan
dia.
Aku yakin , mentariku akan datang dengan cahaya cerah dilangit
biru terangnya. Salamku untuk negeri dongengmu, dan semoga kau mendapatkan
putri dongengmu yang sesungguhnya. Terima kasih untuk perban putihmu itu, dan
cerita halumu yang menjadi tawa bodohku. Sampai jumpa dibawah mentariku yang
dulu pernah menjadi pencerah disaat kumenuliskan mimpiku dan mimpimu. Simpanlah
selembar kertas itu, sebagai tanda bahwa kau telah menyadarkanku dari akal
egomu.
Tuhanku akan memberi Pelangi dilangit biruku, setelah
kepergianmu dan cerita negeri dongengmu. Semesta yang akan mempertemukanku,
dengan pangeran yang sesungguhnya layaknya dinegeri dongeng.
Cinta bukan tentang
hanya datang dengan memberi penawar luka yang telah lalu, melainkan memberi
kedamaian dan merawat hati yang tak kunjung reda dari luka .
0 Komentar