Langkah kaki mulai menyusuri sepanjang jalan yang elok dengan bebatuan. Kini hati dan raga mulai bersahabat dengan alam, mengikuti arus deras takdir dan Menyusun harapan harapan yang ada.

 Aku dengan tekadku mencoba untuk Menyusun rapi rapi semua harapan yang ada didepan mata. Pagi ini dengan diselimuti dingin aku masih mengetik semua tugas yang membuatku harus berada didepan laptop hampir seharian.

“tok, tok, tok..” suara mengetuk dibalik pintu kamarku.

“Zaey, sudah bangun belom, mari kita solat.” Suara ibu dengan nada membangunkan dengan sangkaan mungkin saya belum bangun.

“iya, Bu. Ini Zaey sudah bangun dan sedang ngelanjutin mengetik.” Jawabku sambal terus mantengin laptop diatas Kasur.

            Melihat saya masih diatas Kasur dan tidak beranjak ke kamar mandi, kemudian ibu menghampiriku dan menarik tanganku agar segera bergegas mengambil air wudlu.

Sudah seperti hari hari biasanya, kami sekeluarga membiasakan untuk sholat berjamaah, agar menjadi kebiasaan yang bisa melekat dimanapun nanti kami berada.

“ibu, nanti kalua mau pergi panggil Zaey aja!”

Menuju ke kamar, kemudian aku melanjutkan ngetik lagi.

Hari ini, memang saya disibukkan dengan tugas kuliah, project usaha dan ngelanjuti naskah dramaku.

Menulis sudah menjadi hobi bagiku dengan Menyusun kata kata dan merangkai cerita. Awal masuk kuliah ini banyak harapan dan penjelajahan yang akan aku lakukan. Pergi dengan membawa keyakinan, dengan penuh harap aku memutuskan untuk melanjutkan ke sarjana.

Namun, saat ini saya masih stay dirumah. Dua hari kedepan, mungkin sudah saatnya untuk mengembara ilmu ke ibu kota, ketanah orang dan jauh dari kampung ibu.

“assalamu’alaikum, adakah orang didalam?” suara dibalik pintu depan rumah.

“wa’alaikumsalam, dengan siapa, tunggu sebentar.” Melepas headset dan langsung berjalan menuju membuka pintu.

Setelah membuka pintu, ternyata yang dating teman karribku, Indah namanya. Dia dating dengan membawa bingkisan dari daun pisang. Kemudian meyodorkan bingkisan itu kepadaku.

“wah,,, ap ini? Enak banget kayaknya.” Ujarku dengan muka berbalut senang

Sambil melangkahkan kaki, kami berdua duduk diteras dengan santai. Sudah lama kami tidak bertemu, karena setelah penerimaan mahasiswa baru, kami berbeda universitas. Dia melanjutkan kepiawaiannya dalam seni musik sedangkan saya kejurusan jurnalistik.

            Sekian lama tidak jumpa, kami berbincang bincang kesana kesini hingga melupakan untuk menjamu dia sebagai tamu. Ujarku padanya hingga dia terbahak bahak.

“aku punya tempat favorit yang membuatku tidak bisa melupakan kampung ini.” Lamunnya dengan nyeleneh.

“rumah pohon asmara?”

“that’s right, ternyata kau juga masih ingat ya.

Hahaha. Rumah pohon yang penuh cerita dan halusinasi yang besar. Tempat itu seakan rumah kedua kami setelah pulang sekolah. Ketawa kesana kesini hingga main gitar dan semua kami lakukan saat jenuh dengan tugas sekolah yang semakin tak tau waktu. Celotehku saat itu.

Aku, kamu dan dia. Julukan yang sering kami lontarkan saa penghuni rumah pohon lengkap dengan kisahnya. Sempat kami bertiga merakit mimpi dengan memandangi senja dibalik daun hijau yang berkelibat terhembus angin.

“anganku lebih besar dari pada kalian. Menjadi seorang jurnalis professional yang bisa mengumpulkan berita berita actual tentang keadaan negara ini”

“jangan salah, aku mencoba untuk melengkapi anganmu. Untuk memulai memikirkan tentang anak muda yang galau akan keadaan negara ini dengan menuangkan semua kegalauan dan menyampaikan aspirasinya dalam melodi indah dibalut iringan petikan gitar nan indah.”

“kalian mungkin akan jadi lawanku saat aku tidak bisa membawa negara ini dengan baik. Anganku akan melengkapi jika kita saling bersinergi, untuk menjadi seorang penguasa yang bisa memberikan andil besar untuk negara ini.

Hahaha, ternyata kita memiliki angan yang saling melengkapi satu sama lain and I hope we can to realise all. Kalimatku yang mengandung doa untuk harapan kami masing masing.